Akhir dekade abad 20, abad dimana sejarah dunia bertambah dengan peristiwa besar yang menjadi perhatian masyarakat internasional yaitu runtuhnya salah satu kekuatan besar dunia. Uni Soviet, salah satu kekuatan besar dunia yang secara resmi berakhir pada 25 Desember 1991 ketika Gorbachev (Presiden Uni Soviet) mengumumkan pengunduran dirnya sebagai Presiden Uni Soviet.[1]
Runtuhnya Uni Soviet yang sebagian besar dianggap sebagai kegagalan kebijakan Glasnot dan Perestroika akibat semangat keterbukaan dan demokratisasi yang menjadi inti dari kebijakan tersebut, kini memperlihatkan Arah Rusia yang secara jelas meninggalkan Soviet yang komunis menuju Rusia yang demokrasi liberal. Gagalnya Glasnot dan Perestroika dapat dikatakan sebagai jalan awal Rusia menuju pemerintahan yang demokratis, meskipun dalam kebijakan Soviet tersebut terdapat nilai-nilai demokrasi yang dijalankan.
Jika merujuk pada esensi dasar dari ide demokrasi, sebenarnya Soviet telah menjalakan demokrasi, keberhasilan Lenin dalam mencetuskan revolusi soviet yang menumbangkan rezim Tsar pada 1917, sehingga mampu mendirikan negara demokrasi komunis pertama didasarkan pada doktrin-doktrin leninisme dan Marxisme.
Konsep demokrasi Marx, adalah negara demokrasi berdasarkan kelas (Class Democracy), sementara Lenin membentuk negara Vanguard. Letak perbedaan keduanya adalah demokrasi berdasarkan kelas menempatkan kelas proletariat yang merupakan mayoritas penduduk negara sebagai sebagai penguasa tunggal, menjadi aktor nyata pelaksanaan kekuasaan negara pada fase transformasi sosial dari sistem kapitalisme ke sistem sosialisme. Sedangkan konsep negara Vanguard merujuk pada sistem pemerintahan oleh segelintir elite penguasa yang tergabung dalam partai. Elit ini dalam istilah komunis dinamakan politbiro. Politbiro inilah yang sebenarnya merupakan penguasa dominan dalam demokrasi komunis[2].
Namun, demokrasi sebagai jalan yang diambil Rusia Pasca Soviet bukanlah demokrasi yang sudah ada sebelumnya, atau demokrasi yang dikenal dengan demokrasi Marxix-Leninis (Komunis), melainkan demokrasi Liberal Kapitalis ala Barat.
Demokrasi Liberal Kapitalis merupakan satu dari tiga pilihan yang harus diambil oleh Rusia dalam proses pencarian jati diri dalam masa transisinya. Selain demokrasi ini, sebenarnya ada 2 jalan lain yang menjadi alternatif pilihan oleh Rusia pasca tumbangnya Soviet. Pertama, adalah kembali pada masa pra-bolshevik dan kedua, kembali pada sistem sosialisme soviet. Dan Rusia memilih Alternatif ketiga, yaitu mengambil jalan demokratisasi dengan mengadopsi nilai-nilai demokrasi liberal ala barat[3].
Demokrasi Komunis Tidak Demokratis?
Dalam filosofi pergerakan, semua pergerakan yang dilakukan dianggap sebagai pergerakan yang menuju kearah yang lebih baik. Jika kita kontekstualisasikan pada fenomena Rusia yang mengambil jalan demokrasi ala barat, padahal sebelumnya Rusia sebelum mengalami disintegrasi juga menggunakan sistem demokrasi yang dikenal dengan sistem demokrasi sosialis, maka logika yang terbagun adalah meninggalkan demokrasi sosialis merupakan langkah menuju rusia yang lebih baik.
Apa yang salah dengan demokrasi sosialis?
Pertanyaan ini membawa kita untuk memahami apa sebenarya yang di maksud dengan demokrasi sosialis, dan lebih lanjut kita dapat menjawab pertanyaan tersebut. Untuk memahami demokrasi sosialis, kita dapat memulai dengan melirik ciri-ciri dari demokrasi tersebut. Demokrasi komunis memiliki beberapa ciri-ciri seperti, demokrasi ini bersifat anti pasar. Dalam hal ini, pasar tidak diperkenankan kebebasan bernegosiasi sesuatu yang mempengaruhi dan menentukan kehidupan individu dalam masyarakat. Hubungan-hubungan sosial, keagamaan, ekonomi dan politik diatur oleh negara. dalam bidang perekonomian harga semua produk tidak ditentukan oleh pasar, melainkan negara[5]. untuk memahami sistem ini secara sederhana, segala aspek dalam kehidupan masyarakat diatur oleh negara.
Ciri lain dari sistem demokrasi sosialis adalah pembatasan partisipasi politik, kurang mengenal kebebasan pers, digunakannya sistem partai tunggal (one Party System). Di negara demokrasi komunis tidak dikenal persaingan atau kompetisi partai-partai seperti yang terdapat dalam demokrasi liberal (barat) sebab hanya ada satu pertai yang berkuasa. Kalaupun ada partai-partai lainnya, pada umumnya lemah dan tidak memiliki kekuasaan politik yang memungkinkan mereka bernegosiasi dengan partai negara yang dominan.
Beradasarkan ciri-ciri demokrasi sosialis diatas, maka dapat dipahami bahwa demokrasi sosialis tidak bersifat demokratis. Jika merujuk pada pengertian demokrasi secara sempit, yaitu demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka menurut Macpherson, negara Vanguard hanya bisa menjadi pemerintahan untuk kesejahteraan rakyat banyak (For the People), tetapi bukanlah pemerintahan oleh rakyat, serta bukan atas dari pilihan rakyat (by the choice of the people). Dalam pengertian yang lebih luas, menurut Macpherson demokrasi lebih dari sekedar sistem pemerintahan, ia merupakan suatu konsep yang berisi cita-cita persaman manusia. Manusia tidak hanya diberikan hak yang sama untuk meraih kekuasaan, tetapi juga hak untuk tidak dikuasai oleh manusia lain.[6]
Selain itu kelemahan dari salah satu ciri demokrasi sosialis yaitu sistem pertai tunggal adalah kurang mentolerir pluralisme atau keanekaragaman sosio-kultural, dan ideologi masyarakat. Padahal kita tau sendiri bahwa di Rusia terdapat lebih dari 150 suku bangsa,[7] yang secara pasti memiliki sosio-kultural dan ideologi yang berbeda-beda.
Demokrasi Sosialis Dalam Praktek Di Soviet
Demokrasi sosialis Soviet dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang jalankan, yang berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sosialis itu sendiri. Berikut beberpa kebijakan demokrasi sosialis dalam praktek di Soviet.
Pada 1928, Stalin menerapkan prinsi-prinsip komunis, yang menarik kembali berbagai kelonggaran sementara yang diberikan oleh Lenin. Rencana pembangunan lima tahun pertama (Repelita I), yang dimulai pada 1928, pertama-tama ditujukan pada industrialisasi Rusia yang cepat dan kemudia kolektivisasi pertanian. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendiriong Stalin dalam memaksakan kolektivisasi pada para petani. Pertama, para penguasa komunis merasa bahwa produksi pertanian yang ditingkatkan melalui mekanisasi akan lebih mudah dicapai bila diterapkan sistem pertanian kolektif secara besar-besaran. Kedua, pemilikan dan pemilikan dan penggarapan pertanian secara perorangan menyangkal prinsip komunisme yaitu bahwa semua alat produksi dialihkan menjadi milik negara, Ketiga, para penguasa komunis melihat adanya ancaman politik dan psikis secara langsung terhadap penerimaan atau aksepsi pengarahan politik secara paksa dari pusat bila sistem pertanian perorangan di lanjutkan. alasan lainnya adalah kebutuhan kebutuhan akan tenaga buruh untuk industri-industri baru berkembang di kota-kota.[8]
Namun sayangnya lagi-lagi praktek dari demokrasi sosialis dalam hal kebijakan Kolektivisasi pertanian malah merugikan masyarakatnya sendiri, sehingga memunculkan berbagai penolakan dari kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari perubahan sosial ekonomi yang mendasar di Rusia pada tahun 1929-1933, sekitar tujuh juta petani tewas, dan separuh dari jumlah itu mati karena kelaparan lantaran kolektivisasi.[9] Penolakan ini dilakukan oleh petani dengan dengan menyembelih sebanyak mungkin ternak piaraan untuk kepentingan sendiri, sehingga menjelang rampungnya koleksivitas jumlah ternak piaraan turun drastis.[10]
Selain kolektivistas pertanian, salah satu kebijakan yang diambil dalam soviet adalah Industrialisasi. Industrialisasi Rusia sejak Repelita I, diarahkan pada peningkatan kekuasaan atau kekuatan negara. memang dalam hal Industrialisasi, Rusia mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Hal ini dapat dilihat dari program-program militer dan prestise Uni Soviet benar-benar menanjak pada saat itu. Janji-janji komunis untuk membebaskan buruh dari eksploitasi kapitalis sebagian memang sudah terpenuhi, namun pemenuhan janji itu tidak mengarah pada kebebasa kaum buruh karena kedudukan kapitalis diganti oleh negara.[11] hal inilah yang kemudian menjadi kelemahan Industrialisasi Soviet.
Dalam masyarakat soviet, dalam hal ini masyarakat demokrasi sosialis, masalah kelas seharusnya sudah terpecahkan. Karena menurut pandangan kaum Marxis, tidak akan ada masalah ketimpangan kelas, kecuali dalam masyarakat yang menggunakan prinsip pemilikan alat-alat produksi secara perorangan. Namun dalam prakteknya, tetap saja ada masalah kelas dalam masyarakat soviet, meskipun dalam wajah yang berbeda.
Setidaknya ada tiga kelas yang muncul dalam masyarakat soviet. Pertama, dalam kelompok pertama yang berjumlah ratusan ribu keluarga. Dalam kelompok ini, di dalamnya tedapat pejabat-pejabat tinggi pemerintah, tokoh-tokoh partai, pejabat-pejabat militer. Kelas yang kedua terdiri dari para pejabat tinggi menegah dari kelompok sispil maupun militer, atau sering dikenal dengan kelompok menengah. Dan kelas yang ketiga, terdiri dari sebagian besar masyarakat kalangan buruh dan petani yang mencakup lebih dari 50 juta keluarga.[12]
Keingingan Untuk Berdemokrasi Yang Demokratis (Mengadopsi Demokrasi ala Barat)
Beberapa penjelasan mengenai demokrasi sosialis diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa pelaksanaan praktek demokrasi sosialis ternyata tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh soviet. Sehingga pasca tumbangnya soviet, Rusia tidak kemudian melanjutkan ideologi yang sebelumnya dipakai. Melainkan mengadopsi demokrasi liberal, yang lebih dikenal sebagai demokrasi ala barat.
Keinginan untuk berdemokrasi oleh Rusia, karena demokrasi dianggap dapat memanusiakan manusia (humanization of man). Anggapan ini muncul karena berbagai faktor, antara lain penderitaan manusia karena fasisme, totaliterianisme, komunisme, dan paham-paham anti demokrasi lainnya[13].
Proses demokratisasi yang terjadi di Rusia dari demokrasi sosialis menuju demokrasi liberal, ditandai dengan Runtuhnya Uni Soviet, dimana agenda pasar bebas yang menjadi salah satu ciri dari demokrasi liberal, dijalakan oleh presiden Boris Yeltsin dan dilanjutkan oleh Putin.
Wajah Demokrasi Rusia pasca Soviet
12 juni 1990, merupakan hari kemerdekaan Rusia. Rusiaa pasca soviet adalah sebuah negara yang berbentuk federasi. Pada 12 desember 1993 disahkan disahkan konstitusi federasi Rusia yang mendeklarasikan rusia sebagai negara hukum yang berbentuk federasi dengan sistem pemerintahan presidensiil.
Layaknya negara-negara demkrasi lain, di Rusia, badan perwakilan dan legislatif (parlemen) menggunakan sistem bikameral (dua kamar), dewan federasi atau majelis tinggi, dan duma negara atau majelis rendah. Duma negara bertugas membuat rancangan undang-undang yang diserahkan kepada dewan federasi untuk dikoreksi, dan apabila disetujui, rancangan undang-undang tersebut diserahkan kepada presiden untuk ditanda tangani dan diundangkan.
Pada masa Boris Yeltsin (presiden pertama Rusia), secara umum menunjukkan ciri transisional dari soviet yang sosialis ke Rusia yang demokratis. Boris melakukan sistem prses swastanisasi sabagai sebuah konsekuensi logis dari upaya rusia menuju sistem ekonomi pasar bebas, yang artinya bentuk kepemilikan komunal dan sebagian kepemilikan negara harus dialihkan kepada kepemilikan swata/pribadi.
Mengikuti jejak pendahulunya, Vladimir Putin sebagai presiden kedua Rusia melanjutkan kebijakan reformasi ekonomi pasar bebas yang digulirkan sejak masa yeltsin.
Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu. Hal inilah yang terjadi pada masa pemerintahan yeltsin, yang dikenal dengan istilah munculnya kaum oligarchy baru, yang menjadi tugas besar bagi putin dalam menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis.
Kesimpulan
Kolektivitas Pertanian, Industrialisasi, Stratifikasi Sosial, yang menjadi ciri penerapan demokrasi sosialis Soviet, ternyata tidak selaras denngan apa yang menjadi impian Sosialis, malah yang terjadi kebijakan yang ada menjadi kecaman bagi masyarakat yang merasakan secara jelas dampak negatif dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soviet.
Jalan demkrasi liberal yang diambil oleh Rusia merupakan usaha yang diambil untuk menemukan kembali jati diri Rusia yang seakan hilang pasca tumbangnya Soviet. Sebagai negara yang masih seumur jagung dalam penerapan demokrasi ala barat, Rusia masih akan mengahadapi berbagai tantangan yang tidak akan mudah. Tantangan-tangan yang dihadapi Rusia seharusnya ditanggapi positif yang akan membawa Rusia semakin matang dalam hal demokrasi.
[1] A. Fahrurodji, 2005, Rusia Baru Menuju Demokrasi “Pengantar sejarah dan latar belakang budayanya”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Hal. 189
[2] Ahamd Suhelmi, 2001, Politik Pemerintahan Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal. 312
[4] Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2012, Negara, Demokrasi dan Civil Society. Yogyakarta: Graha Ilmu, Hal. 56
[5] Ahamad Suhelmi, Politik Pemkiran, op.cit., hal. 313
[6] Macpherson, 1971,The World of Democracy, Oxford: Clarendon Press, Hal. 13-14
[7] A. Fahrurodji, Rusia baru menuju, op., cit., hal. 193
[8] William Ebenstein dkk, 1985, Isme-Isme Dewasa ini,Erlangga,hal. 29
[13] Ahamad Suhelmi, Politik Pemkiran, op.cit., hal. 296